Sabtu, 27 April 2013

Gambang Kromong

Asal-usul Gambang Kromong

Gambang kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740)
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, manggarawan atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang kromong adalah tangga nada pentatonik Cina, yang sering disebut salendro Cina atau salendro mandalungan. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek, dan sukong, tehyan, atau kongahyan sebagai pembawa melodi.
Orkes gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukkan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem, Gula Ganting, Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya, dan lagu-lagu Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang, Persi, Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-onde, Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu Siu dan sebagainya.

Gambang kromong Musik Tradisional

Gambang Kromong merupakan salah satu jenis seni musik tradisional Jakarta (Betawi) yang dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa.
Hal ini bisa dilihat dari instrumen yang digunakan, antara lain Kongahyan, Tehyan, dan Sukong.
Sementara alat musik yang khas Betawi adalah gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul, dan gong.
Kesenian ini pertama berkembang di daerah Tangerang tapi kemudian menjadi populer berkat Alm. H. Benyamin Sueb yang menyanyikan lagu 'Macan Kemayoran' dengan versi gambang kromong.

Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya
Gambang kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya (Jabotabek). Jika terdapat lebih banyak penduduk peranakan Tionghoa dalam masyarakat Betawi setempat, terdapat lebih banyak pula grup-grup orkes gambang kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, misalnya, terdapat lebih banyak jumlah grup gambang kromong dibandingkan dengan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa ini juga terdapat istilah "gambang kromong kombinasi". Gambang kromong kombinasi adalah orkes gambang kromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu. Hal tersebut tidak mengurangi kekhasan suara gambang kromong sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan

Asal usul

Sejarah Gambang Kromong terbentang jauh sejak 250 tahun lalu. Ketika itu, etnis Cina perantauan yang berada di pulau Jawa sangat tertarik dengan gamelan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Bukan saja tertarik, tapi mereka juga turut memainkan gamelan berlaras pelog dan slendro tersebut.
Orang Cina di Batavia pun menyenangi gamelan Jawa, tapi permainan gamelan di Batavia tidak sehalus permainan di Jawa. Orang Cina tidak suka dengan permainan gamelan di Jawa tersebut, sehingga mereka yang membawa alat musik dari tanah asalnya memainkan alat musik Cina. Adalah Yang Khim, instrumen serupa xylofon yang ketika itu dimainkan bersama dengan instrumen lain seperti sukong, hosiang, thehian, kongahian, sambian, soeling, pan, dan ningnong.

Namun ketika itu, Yang Khim sangat jarang ada di Batavia. Orang Cina yang merantau memilih untuk membawa barang yang lebih penting dan lebih berharga. Alhasil, karena tiadanya Yang Khim, orang Cina memakai Gambang, xylofon dengan 18 bilah kayu bernada pentatonis dalam register 3 ½ oktaf, untuk menirukan Yang Khim – tentu saja dengan tangganada yang sudah disesuaikan.

Gambang dengan olahan baru ini (mengadaptasi musik Cina) kemudian dimainkan untuk mengiringi beberapa jenis rebab Cina seperti thehian dan kongahian. Selain itu, diikutsertakan juga alat musik lain seperti soekong, hosiang, gihian, suling, kecrek, dan ningnong.
Ketika Nie Hoe Kong menjadi Kapiten Cina di Batavia (dengan Gubernur Jendral Van Imhoff 1743-1750), ia membuat sebuah pesta. Untuk menghibur para tamu yang hadir dihadirkanlah orkes gambang yang terdiri dari 5 perangkat orkes gambang, dengan dua perangkat diantaranya dinamai Si Macan dan Si Kumbang,. Perangkat musik gambang ini kemudian diserahkan ke Kapiten Nie Hoe Kong seusai pesta. Ia lalu berinisiatif memakai perangkat tersebut untuk mengiringi rebab cina
Bentuk ensambel seperti ini kemudian bertahan terus hingga pada tahun 1880, ketika seorang kepala kampung Cina di wilayah Pasar Senen bernama Bek Teng Tjoe menunjukkan orkes gambang yang digabung dengan kromong, kempul, gendang, dan gong. Bentuk inilah yang kemudian terus bertahan sampai sekarang dan dimainkan di acara pernikahan, khitanan, tahun baru imlek, atau sembahyang Sejid.

Gambang Kromong merupakan saksi bisu bagaimana sekelompok masyarakat dari etnis yang sangat berbeda bisa menyatu dan menghasilkan sebuah kesenian yang unik dan sangat egaliter. Perbedaan latar belakang asal-usul menjadi hiasan belaka ketika itu dihadapkan pada situasi sulit secara ekonomi, politik, pendidikan, dan kultural

Alat-alat Gambang kromong

Alat musik yang digunakan dalam seri ini terdiri atas:
Gambang, yaitu instrumen pukul dengan bilah-bilah kayu berjumlah 18 buah, dengan  skala tangga nada khas Cina.
Kromong, yaitu instrumen pukul dari logam, bentuknya mirip dengan boning Jawa. Kecrek, yaitu berupa dua lempengan besi dipukul dengan alat pemukul dari besi pula. Ketiga alat di atas dimainkan penabuhnya sambil duduk di kursi
Nengnong, berupa dua buah piringan dari logam yang dikaitkan pada kerangka. Pemukul yang digunakan terbuat dari kayu.
Gong dan Kempul, sebagai instrumen kolomotik mirip sekali penggunaannya dengan alat musik gamelan Sunda atau Jawa.
Instrumen gesek tiga buah, bentuknya mirip satu sama lainnya. Yang paling kecil disebut Kongahyan, yang berukuran sedang disebut Tehyan, dan berukuran paling besar disebut Sukong.
Gendang yang mirip sekali dengan alat musik gendang Sunda lengkap dengan gendang kecilnya.

Bangsing atau Suling yang memiliki enam lubang yang dimainkan dalam posisi horisontal.
Juanto, adalah instrumenberbentuk mirip terompet berlubang tujuh buah, merupakan instrumen paling penting dalam seni Gambang Kromong karena mampu memberikan nuansa ke-Cina-an, akan tetapi sekarang sulit ditemukan dan digantikan fungsinya oleh Saxophone.
Disamping para pemain memainkan alat-alat tersebut, pada Gambang Kromong  terdapat penari yang disebut Cokek. Cokek ini merupakan tari hiburan yang dalam pertunjukannya si penari mengundang tamu atau penonton untuk menari bersama mereka. Cokek secara lengkap akan dibahas dimuka. Dalam perkembangan terakhir, berbagai instrumen musik Barat seperti Keyboard, Saxophone, Gitar elektrik masuk memperkaya seni Gambang Kromong. Oleh karena itu, seni ini sekarang dapat menampilkan lagu-lagu pop, dangdut, dan keroncong.

Mengapresiasikan gambang kromong

Menunjukan suatu jenis alat music daerah yang disebut seni gambang kromong  adanya berbagai jenis alat music sangat mendukung dalam myemarakan dan mengembangkan kesenian tanah air .hampir setiap daerah di negeri kita memiliki alat music tradisisonal dengan ciri khasnya masing–masing sebagai warga negara yang cinta tanah air ,kita wajib melestarikan budaya bangsa oleh karena itu ,kita perlu mengenal berbagai  music dan alat music daerah .dalam bab ini kamu akan mempelajari music daerah dan mengapresiasi karya music tersebut.musik daerah atau disebut music tradisional merupakan alat music yang terlahir dan berkembang dari budaya  daerah setempat namun demikian ,music tradisional berkembang sesuai dengan budaya yang dinamis sehingga ada beberapa music tradisioanal berbaur dengan budaya mancanegara .berikut beberapa contoh music daerah Indonesia.

Gambang kromong juga merupakan alat musik rakyat betawi yang dapat pengaruh dari budaya cina , istilah gambang kromong yaitu diambil dari alat musik yang digunakan dalam musik ini yaitu gambang dan kromong bilahan gambang merupakan biasanya terbuat dari kayu yang berjumlah delapan belas sedangkan kromong terbuat dari perunggu yang berjumlah sepuluh perunggu, pengaruh kebudayaan cina dapat dilihat dari alat musik yang di gunakan , yaitu the yan, rebab ukuran kecil kong an merupakan rebab sedang, shu kong merupakan rebab ukuran besar

Kesenian Blantek

Sebagai suku asli di Jakarta, Betawi sangat kaya akan seni dan budaya. Namun, tidak semua kesenian Betawi dikenal masyarakat secara luas, termasuk seni topeng blantek. Padahal, jauh sebelum kesenian tradisional Betawi seperti gambang kromong, lenong dan lain sebagainya dikenal masyarakat, topeng blantek sudah lebih dulu hadir di tengah-tengah masyarakat Betawi.





Soal asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua suku kata, yaitu topeng dan blantek. Istilah topeng berasal dari bahasa Cina di zaman Dinasti Ming. Topeng asal kata dari to dan peng. To artinya sandi dan peng artinya wara. Jadi topeng itu bila dijabarkan berarti sandiwara. Sedangkan untuk kata blantek ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, blang blang crek. Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan maka munculah istilah BLANTEK.

 

Pendapat lainnya mengatakan, asal nama blantek berasal dari Inggris, yaitu blindtexs, yang berarti buta naskah. Marhasan (55), tokoh pelestari topeng blantek mengatakan, permainan blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar cerita yang akan dimainkan.

Ciri dari kesenian topeng blantek yaitu terdapat tiga buah sundung (kayu yang dirangkai berbentuk segi tiga yang biasa digunakan untuk memikul sayuran, rumput dan lain sebagainya). Yaitu satu sundung berukuran besar dan dua berukuran kecil yang diletakkan di pentas sebagai pembatas para pemain yang sedang berlakon dengan panjak dan musik juga dengan para pemain lain yang belum dapat giliran berlakon. Kemudian perangkat lainnya berupa obor yang diletakkan di tengah pentas.
Namun, di tengah modernisasi zaman kesenian yang dulu dikenal di kalangan rakyat jelata tersebut saat ini kondisinya hampir punah. Bahkan, keberadaan seniman dan sanggar tari topeng blantek boleh dikatakan hidup segan mati tak mau.
“Sebenarnya kalau masyarakat ingin tahu sejarah kesenian topeng blantek, boleh dikatakan cikal bakal kesenian tradisional Betawi saat ini seperti gambang kromong, samrah, lenong dan lain sebagaianya berawal dari topeng blantek. Tapi, minimnya dukungan pemerintah dan sepinya job membuat kesenian topeng blantek nyaris tak populer,” sejak adanya kesenian-kesenian tradisional Betawi lainnya seperti lenong, topeng Betawi, samrah, gambang kromong dan lain sebagainya, kesenian topeng blantek makin surut pamornya dan akhirnya hilang sama sekali.
Saking lamanya kehadiran topeng blantek Marhasan tidak tahu kapan kesenian rakyat itu ada. Marhasan yang sejak 1972 malang melintang di Teater Maki-Maki pimpinan Patrick Usman, Sanggar si Barkah dan lainnya hingga 1982 bersama almarhum Usman juga turut mendirikan sanggar Topeng Blantek Pangker Group karena kecintaannya pada kesenian asli Betawi tersebut.

Menurutnya, kesenian topeng blantek sempat bangkit pada 1972 saat seorang tokoh kesenian bernama Ras Barkah dengan sanggarnya yang dinamakan si Barkah melakukan pengembangan kesenian topeng blantek ke bentuk yang lebih sempurna, namun tidak meninggalkan keasliannya.
Diakui Marhasan saat era Ras Barkah kesenian topeng blantek sempat tumbuh subur hingga ada 25 sanggar dengan rincian, Jakarta Barat 10, Jakarta Utara 3, Jakarta Timur 5, Jakarta Pusat 3, dan Jakarta Selatan 4 sanggar.
Sebelum nama topeng blantek nyaris tak terdengar seperti saat ini, kesenian ini sempat mencapai klimaksnya dengan digelarnya festival pada 26-31 Mei 1994 selama lima hari berturut-turut atas kerja sama Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan yayasan Seni Budaya Jakarta. Saat itu festival.

Melestarikan Warisan Budaya adalah tugas kita, hingga jangan sampai terlupakan karena pengaruh budaya Modern.

sumber: berbagai media


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar