Sabtu, 27 April 2013

Gambang Kromong

Asal-usul Gambang Kromong

Gambang kromong (atau ditulis gambang keromong) adalah sejenis orkes yang memadukan gamelan dengan alat-alat musik Tionghoa, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan. Sebutan gambang kromong diambil dari nama dua buah alat perkusi, yaitu gambang dan kromong. Awal mula terbentuknya orkes gambang kromong tidak lepas dari seorang pemimpin komunitas Tionghoa yang diangkat Belanda (kapitan Cina) bernama Nie Hoe Kong (masa jabatan 1736-1740)
Bilahan gambang yang berjumlah 18 buah, biasa terbuat dari kayu suangking, huru batu, manggarawan atau kayu jenis lain yang empuk bunyinya bila dipukul. Kromong biasanya dibuat dari perunggu atau besi, berjumlah 10 buah (sepuluh pencon). Tangga nada yang digunakan dalam gambang kromong adalah tangga nada pentatonik Cina, yang sering disebut salendro Cina atau salendro mandalungan. Instrumen pada gambang kromong terdiri atas gambang, kromong, gong, gendang, suling, kecrek, dan sukong, tehyan, atau kongahyan sebagai pembawa melodi.
Orkes gambang kromong merupakan perpaduan yang serasi antara unsur-unsur pribumi dengan unsur Tionghoa. Secara fisik unsur Tionghoa tampak pada alat-alat musik gesek yaitu sukong, tehyan, dan kongahyan. Perpaduan kedua unsur kebudayaan tersebut tampak pula pada perbendaharaan lagu-lagunya. Di samping lagu-lagu yang menunjukkan sifat pribumi, seperti lagu-lagu Dalem (Klasik) berjudul: Centeh Manis Berdiri, Mas Nona, Gula Ganting, Semar Gunem, Gula Ganting, Tanjung Burung, Kula Nun Salah, dan Mawar Tumpah dan sebagainya, dan lagu-lagu Sayur (Pop) berjudul: Jali-jali, Stambul, Centeh Manis, Surilang, Persi, Balo-balo, Akang Haji, Renggong Buyut, Jepret Payung, Kramat Karem, Onde-onde, Gelatik Ngunguk, Lenggang Kangkung, Sirih Kuning dan sebagainya, terdapat pula lagu-lagu yang jelas bercorak Tionghoa, baik nama lagu, alur melodi maupun liriknya, seperti Kong Ji Liok, Sip Pat Mo, Poa Si Li Tan, Peh Pan Tau, Cit No Sha, Ma Cun Tay, Cu Te Pan, Cay Cu Teng, Cay Cu Siu dan sebagainya.

Gambang kromong Musik Tradisional

Gambang Kromong merupakan salah satu jenis seni musik tradisional Jakarta (Betawi) yang dipengaruhi oleh kebudayaan Tionghoa.
Hal ini bisa dilihat dari instrumen yang digunakan, antara lain Kongahyan, Tehyan, dan Sukong.
Sementara alat musik yang khas Betawi adalah gambang, kromong, kemor, kecrek, gendang kempul, dan gong.
Kesenian ini pertama berkembang di daerah Tangerang tapi kemudian menjadi populer berkat Alm. H. Benyamin Sueb yang menyanyikan lagu 'Macan Kemayoran' dengan versi gambang kromong.

Lagu-lagu yang dibawakan pada musik gambang kromong adalah lagu-lagu yang isinya bersifat humor, penuh gembira, dan kadangkala bersifat ejekan atau sindiran. Pembawaan lagunya dinyanyikan secara bergilir antara laki-laki dan perempuan sebagai lawannya
Gambang kromong merupakan musik Betawi yang paling merata penyebarannya di wilayah budaya Betawi, baik di wilayah DKI Jakarta sendiri maupun di daerah sekitarnya (Jabotabek). Jika terdapat lebih banyak penduduk peranakan Tionghoa dalam masyarakat Betawi setempat, terdapat lebih banyak pula grup-grup orkes gambang kromong. Di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, misalnya, terdapat lebih banyak jumlah grup gambang kromong dibandingkan dengan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.
Dewasa ini juga terdapat istilah "gambang kromong kombinasi". Gambang kromong kombinasi adalah orkes gambang kromong yang alat-alatnya ditambah atau dikombinasikan dengan alat-alat musik Barat modern seperti gitar melodis, bas, gitar, organ, saksofon, drum dan sebagainya, yang mengakibatkan terjadinya perubahan dari laras pentatonik menjadi diatonik tanpa terasa mengganggu. Hal tersebut tidak mengurangi kekhasan suara gambang kromong sendiri, dan lagu-lagu yang dimainkan berlangsung secara wajar dan tidak dipaksakan

Asal usul

Sejarah Gambang Kromong terbentang jauh sejak 250 tahun lalu. Ketika itu, etnis Cina perantauan yang berada di pulau Jawa sangat tertarik dengan gamelan yang ada di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Bukan saja tertarik, tapi mereka juga turut memainkan gamelan berlaras pelog dan slendro tersebut.
Orang Cina di Batavia pun menyenangi gamelan Jawa, tapi permainan gamelan di Batavia tidak sehalus permainan di Jawa. Orang Cina tidak suka dengan permainan gamelan di Jawa tersebut, sehingga mereka yang membawa alat musik dari tanah asalnya memainkan alat musik Cina. Adalah Yang Khim, instrumen serupa xylofon yang ketika itu dimainkan bersama dengan instrumen lain seperti sukong, hosiang, thehian, kongahian, sambian, soeling, pan, dan ningnong.

Namun ketika itu, Yang Khim sangat jarang ada di Batavia. Orang Cina yang merantau memilih untuk membawa barang yang lebih penting dan lebih berharga. Alhasil, karena tiadanya Yang Khim, orang Cina memakai Gambang, xylofon dengan 18 bilah kayu bernada pentatonis dalam register 3 ½ oktaf, untuk menirukan Yang Khim – tentu saja dengan tangganada yang sudah disesuaikan.

Gambang dengan olahan baru ini (mengadaptasi musik Cina) kemudian dimainkan untuk mengiringi beberapa jenis rebab Cina seperti thehian dan kongahian. Selain itu, diikutsertakan juga alat musik lain seperti soekong, hosiang, gihian, suling, kecrek, dan ningnong.
Ketika Nie Hoe Kong menjadi Kapiten Cina di Batavia (dengan Gubernur Jendral Van Imhoff 1743-1750), ia membuat sebuah pesta. Untuk menghibur para tamu yang hadir dihadirkanlah orkes gambang yang terdiri dari 5 perangkat orkes gambang, dengan dua perangkat diantaranya dinamai Si Macan dan Si Kumbang,. Perangkat musik gambang ini kemudian diserahkan ke Kapiten Nie Hoe Kong seusai pesta. Ia lalu berinisiatif memakai perangkat tersebut untuk mengiringi rebab cina
Bentuk ensambel seperti ini kemudian bertahan terus hingga pada tahun 1880, ketika seorang kepala kampung Cina di wilayah Pasar Senen bernama Bek Teng Tjoe menunjukkan orkes gambang yang digabung dengan kromong, kempul, gendang, dan gong. Bentuk inilah yang kemudian terus bertahan sampai sekarang dan dimainkan di acara pernikahan, khitanan, tahun baru imlek, atau sembahyang Sejid.

Gambang Kromong merupakan saksi bisu bagaimana sekelompok masyarakat dari etnis yang sangat berbeda bisa menyatu dan menghasilkan sebuah kesenian yang unik dan sangat egaliter. Perbedaan latar belakang asal-usul menjadi hiasan belaka ketika itu dihadapkan pada situasi sulit secara ekonomi, politik, pendidikan, dan kultural

Alat-alat Gambang kromong

Alat musik yang digunakan dalam seri ini terdiri atas:
Gambang, yaitu instrumen pukul dengan bilah-bilah kayu berjumlah 18 buah, dengan  skala tangga nada khas Cina.
Kromong, yaitu instrumen pukul dari logam, bentuknya mirip dengan boning Jawa. Kecrek, yaitu berupa dua lempengan besi dipukul dengan alat pemukul dari besi pula. Ketiga alat di atas dimainkan penabuhnya sambil duduk di kursi
Nengnong, berupa dua buah piringan dari logam yang dikaitkan pada kerangka. Pemukul yang digunakan terbuat dari kayu.
Gong dan Kempul, sebagai instrumen kolomotik mirip sekali penggunaannya dengan alat musik gamelan Sunda atau Jawa.
Instrumen gesek tiga buah, bentuknya mirip satu sama lainnya. Yang paling kecil disebut Kongahyan, yang berukuran sedang disebut Tehyan, dan berukuran paling besar disebut Sukong.
Gendang yang mirip sekali dengan alat musik gendang Sunda lengkap dengan gendang kecilnya.

Bangsing atau Suling yang memiliki enam lubang yang dimainkan dalam posisi horisontal.
Juanto, adalah instrumenberbentuk mirip terompet berlubang tujuh buah, merupakan instrumen paling penting dalam seni Gambang Kromong karena mampu memberikan nuansa ke-Cina-an, akan tetapi sekarang sulit ditemukan dan digantikan fungsinya oleh Saxophone.
Disamping para pemain memainkan alat-alat tersebut, pada Gambang Kromong  terdapat penari yang disebut Cokek. Cokek ini merupakan tari hiburan yang dalam pertunjukannya si penari mengundang tamu atau penonton untuk menari bersama mereka. Cokek secara lengkap akan dibahas dimuka. Dalam perkembangan terakhir, berbagai instrumen musik Barat seperti Keyboard, Saxophone, Gitar elektrik masuk memperkaya seni Gambang Kromong. Oleh karena itu, seni ini sekarang dapat menampilkan lagu-lagu pop, dangdut, dan keroncong.

Mengapresiasikan gambang kromong

Menunjukan suatu jenis alat music daerah yang disebut seni gambang kromong  adanya berbagai jenis alat music sangat mendukung dalam myemarakan dan mengembangkan kesenian tanah air .hampir setiap daerah di negeri kita memiliki alat music tradisisonal dengan ciri khasnya masing–masing sebagai warga negara yang cinta tanah air ,kita wajib melestarikan budaya bangsa oleh karena itu ,kita perlu mengenal berbagai  music dan alat music daerah .dalam bab ini kamu akan mempelajari music daerah dan mengapresiasi karya music tersebut.musik daerah atau disebut music tradisional merupakan alat music yang terlahir dan berkembang dari budaya  daerah setempat namun demikian ,music tradisional berkembang sesuai dengan budaya yang dinamis sehingga ada beberapa music tradisioanal berbaur dengan budaya mancanegara .berikut beberapa contoh music daerah Indonesia.

Gambang kromong juga merupakan alat musik rakyat betawi yang dapat pengaruh dari budaya cina , istilah gambang kromong yaitu diambil dari alat musik yang digunakan dalam musik ini yaitu gambang dan kromong bilahan gambang merupakan biasanya terbuat dari kayu yang berjumlah delapan belas sedangkan kromong terbuat dari perunggu yang berjumlah sepuluh perunggu, pengaruh kebudayaan cina dapat dilihat dari alat musik yang di gunakan , yaitu the yan, rebab ukuran kecil kong an merupakan rebab sedang, shu kong merupakan rebab ukuran besar

Kesenian Blantek

Sebagai suku asli di Jakarta, Betawi sangat kaya akan seni dan budaya. Namun, tidak semua kesenian Betawi dikenal masyarakat secara luas, termasuk seni topeng blantek. Padahal, jauh sebelum kesenian tradisional Betawi seperti gambang kromong, lenong dan lain sebagainya dikenal masyarakat, topeng blantek sudah lebih dulu hadir di tengah-tengah masyarakat Betawi.





Soal asal-usul nama kesenian ini berasal dari dua suku kata, yaitu topeng dan blantek. Istilah topeng berasal dari bahasa Cina di zaman Dinasti Ming. Topeng asal kata dari to dan peng. To artinya sandi dan peng artinya wara. Jadi topeng itu bila dijabarkan berarti sandiwara. Sedangkan untuk kata blantek ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan berasal dari bunyi-bunyian musik yang mengiringinya. Yaitu satu rebana biang, dua rebana anak dan satu kecrek yang menghasilkan bunyi, blang blang crek. Namun, karena lidah lokal ingin enaknya saja dalam penyebutan maka munculah istilah BLANTEK.

 

Pendapat lainnya mengatakan, asal nama blantek berasal dari Inggris, yaitu blindtexs, yang berarti buta naskah. Marhasan (55), tokoh pelestari topeng blantek mengatakan, permainan blantek dahulu kala tidak memakai naskah dan sutradara hanya memberikan gagasan-gagasan garis besar cerita yang akan dimainkan.

Ciri dari kesenian topeng blantek yaitu terdapat tiga buah sundung (kayu yang dirangkai berbentuk segi tiga yang biasa digunakan untuk memikul sayuran, rumput dan lain sebagainya). Yaitu satu sundung berukuran besar dan dua berukuran kecil yang diletakkan di pentas sebagai pembatas para pemain yang sedang berlakon dengan panjak dan musik juga dengan para pemain lain yang belum dapat giliran berlakon. Kemudian perangkat lainnya berupa obor yang diletakkan di tengah pentas.
Namun, di tengah modernisasi zaman kesenian yang dulu dikenal di kalangan rakyat jelata tersebut saat ini kondisinya hampir punah. Bahkan, keberadaan seniman dan sanggar tari topeng blantek boleh dikatakan hidup segan mati tak mau.
“Sebenarnya kalau masyarakat ingin tahu sejarah kesenian topeng blantek, boleh dikatakan cikal bakal kesenian tradisional Betawi saat ini seperti gambang kromong, samrah, lenong dan lain sebagaianya berawal dari topeng blantek. Tapi, minimnya dukungan pemerintah dan sepinya job membuat kesenian topeng blantek nyaris tak populer,” sejak adanya kesenian-kesenian tradisional Betawi lainnya seperti lenong, topeng Betawi, samrah, gambang kromong dan lain sebagainya, kesenian topeng blantek makin surut pamornya dan akhirnya hilang sama sekali.
Saking lamanya kehadiran topeng blantek Marhasan tidak tahu kapan kesenian rakyat itu ada. Marhasan yang sejak 1972 malang melintang di Teater Maki-Maki pimpinan Patrick Usman, Sanggar si Barkah dan lainnya hingga 1982 bersama almarhum Usman juga turut mendirikan sanggar Topeng Blantek Pangker Group karena kecintaannya pada kesenian asli Betawi tersebut.

Menurutnya, kesenian topeng blantek sempat bangkit pada 1972 saat seorang tokoh kesenian bernama Ras Barkah dengan sanggarnya yang dinamakan si Barkah melakukan pengembangan kesenian topeng blantek ke bentuk yang lebih sempurna, namun tidak meninggalkan keasliannya.
Diakui Marhasan saat era Ras Barkah kesenian topeng blantek sempat tumbuh subur hingga ada 25 sanggar dengan rincian, Jakarta Barat 10, Jakarta Utara 3, Jakarta Timur 5, Jakarta Pusat 3, dan Jakarta Selatan 4 sanggar.
Sebelum nama topeng blantek nyaris tak terdengar seperti saat ini, kesenian ini sempat mencapai klimaksnya dengan digelarnya festival pada 26-31 Mei 1994 selama lima hari berturut-turut atas kerja sama Dinas Kebudayaan DKI Jakarta dengan Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) dan yayasan Seni Budaya Jakarta. Saat itu festival.

Melestarikan Warisan Budaya adalah tugas kita, hingga jangan sampai terlupakan karena pengaruh budaya Modern.

sumber: berbagai media


























Nama Betawi

Asal Usul Nama Betawi
Etimologi Betawi

Kata Betawi digunakan untuk menyatakan suku asli yang menghuni Jakarta dan bahasa Melayu Kreol yang digunakannya, dan juga kebudayaan Melayunya. Mengenai asal mula kata Betawi, menurut para ahli dan sejarahwan ada beberapa acuannya :
  • Pitawi (Bahasa Melayu Polynesia Purba) yang artinya larangan. Perkataan ini mengacu pada komplek bangunan yang dihormati di Batu Jaya. Sejarahwan Ridwan Saidi mengaitkan bahwa Kompleks Bangunan di Batu Jaya, Karawang merupakan sebuah Kota Suci yang tertutup, sementara Karawang, merupakan Kota yang terbuka.
  • Betawi (Bahasa Melayu Brunei) di mana kata "Betawi" digunakan untuk menyebut giwang. Nama ini mengacu pada ekskavasi di Babelan, Kabupaten Bekasi, yang banyak ditemukan giwang dari abad ke-11 M.
  • Flora guling Betawi (cassia glauca), famili papilionaceae yang merupakan jenis tanaman perdu yang kayunya bulat seperti guling dan mudah diraut serta kokoh. Dahulu kala jenis batang pohon Betawi banyak digunakan untuk pembuatan gagang senjata keris atau gagang pisau. Tanaman guling Betawi banyak tumbuh di Nusa Kelapa dan beberapa daerah di pulau Jawa dan Kalimantan. Sementara di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, guling Betawi disebut Kayu Bekawi. Ada perbedaan pengucapan kata "Betawi" dan "Bekawi" pada penggunaan kosakata "k" dan "t" antara Kapuas Hulu dan Betawi Melayu, dan ini biasa terjadi dalam bahasa Melayu, seperti kata tanya apakah atau apatah yang memiliki persamaan makna atau arti.

Kemungkinan nama Betawi yang berasal dari jenis tanaman pepohonan ada kemungkinan benar. Menurut Sejarahwan Ridwan Saidi Pasalnya, beberapa nama jenis flora selama ini memang digunakan pada pemberian nama tempat atau daerah yang ada di Jakarta, seperti Gambir, Krekot, Bintaro, Grogol dan banyak lagi. "Seperti Kecamatan Makasar, nama ini tak ada hubungannya dengan orang Makassar, melainkan diambil dari jenis rerumputan".
Sehinga Kata "Betawi" bukanlah berasal dari kata "Batavia" (Nama lama KotaJakarta pada masa Hindia Belanda). Dikarenakan nama Batavia lebih merujuk kepada wilayah asal nenek moyang orang Belanda.

 

Nama Batavia

Batavia merupakan nama Latin untuk tanah Batavia pada zaman Romawi. Perkiraan kasarnya berada sekitar kota Nijmegen, Belanda, dalam Kekaisaran Romawi. Sisa lahan ini kini dikenal sebagai Betuwe. Selama Renaisans, sejarawan Belanda mencoba untuk mempromosikan Batavia menjadi sebuah status "nenek moyang" dari orang-orang Belanda. Kemudian mereka mulai menyebut diri Orang-orang atau penduduk Batavia, kemudian hal tersebut mengakibatkan munculnya Republik Batavia, dan mengambil nama "Batavia" untuk koloni mereka seperti Hindia Belanda, dimana mereka mengganti nama menjadi dari Kota Jayakarta menjadi Batavia dari 1619 sampai sekitar 1942, ketika namanya diubah menjadi Djakarta (ini adalah kependekan dari nama mantan Jayakarta, kemudian dirubah kembali ejaannya menjadi Jakarta). Nama itu (Batavia) juga digunakan di Suriname, di mana mereka mendirikan Batavia, Suriname, dan di Amerika Serikat di mana mereka mendirikan kota dan kota Batavia, New York. Nama ini menyebar lebih jauh ke barat di Amerika Serikat untuk tempat-tempat seperti Batavia, Illinois, dekat Chicago, dan Batavia, Ohio.
Kemudian penggunaan kata Betawi sebagai sebuah suku yang pada masa hindia belanda, diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Perkoempoelan Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923

Suku Betawi


Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya bertempat tinggal di Jakarta.

Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Namun menurut Uka Tjandarasasmita penduduk asli Jakarta telah ada sejak 3500-3000 tahun sebelum masehi.

Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.

Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Ada juga yang berpendapat bahwa orang Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.


Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, Melayu dan Tionghoa.

Namun pihak lain berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa pada masa lalu ternyata tidak sepenuhnya benar karena eksistensi suku Betawi menurut sejarawan Sagiman MD telah ada serta mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak zaman batu baru atau pada zaman Neoliticum, penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa sebagaimana orang Sunda, Jawa, dan Madura. Pendapat Sagiman MD tersebut senada dengan Uka Tjandarasasmita yang mengeluarkan monografinya "Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977)" mengungkapkan bahwa Penduduk Asli Jakarta telah ada pada sekitar tahun 3500 - 3000 sebelum masehi.

Namun menurut sebagian Peneliti yang sepaham dengan Lance Castles yang pernah meneliti tentang Penduduk Jakarta dimana Jurnal Penelitiannya diterbitkan tahun 1967 oleh Cornell University dikatakan bahwa secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Melayu serta suku-suku pendatang, seperti Arab, India, Tionghoa, dan Eropa.

Pada penelitiannya Lance Castles menitik beratkan pada empat sketsa sejarah yaitu :
Daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia.
Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815.
Catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893
Sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930.

Dimana semua sketsa sejarahnya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke 17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15 (tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi"

Sejarah Periode Sebelum Masehi

Sejarah Betawi diawali pada masa zaman batu yang menurut Sejarawan Sagiman MD sudah ada sejak zaman neolitikum. Sementara Yahya Andi Saputra (Alumni Fakultas Sejarah UI), berpendapat bahwa penduduk asli Betawi adalah penduduk Nusa Jawa. Menurutnya, dahulu kala penduduk di Nusa Jawa merupakan satu kesatuan budaya. Bahasa, kesenian, dan adat kepercayaan mereka sama. Dia menyebutkan berbagai sebab yang kemudian menjadikan mereka sebagai suku bangsa sendiri-sendiri.
  • Pertama, munculnya kerajaan-kerajaan di zaman sejarah.
  • Kedua, kedatangan penduduk dari luar Nusa Jawa.
  • Terakhir, perkembangan kemajuan ekonomi daerah masing-masing.
 
Penduduk asli Betawi berbahasa Kawi (Jawa kuno). Di antara penduduk juga mengenal huruf hanakacara (abjad bahasa Jawa dan Sunda). Jadi, penduduk asli Betawi telah berdiam di Jakarta dan sekitarnya sejak zaman dahulu.

Setelah kemerdekaan

Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu

Seni dan Kebudayaan

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa dikenal dengan istilah Mestizo. Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (Sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Suku-suku yang mendiami Jakarta sekarang antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Betawi juga banyak menyerap dari budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongkok, India, dan Portugis.
Suku Betawi sebagai penduduk asli Jakarta agak tersingkirkan oleh penduduk pendatang. Mereka keluar dari Jakarta dan pindah ke wilayah-wilayah yang ada di provinsi Jawa Barat dan provinsi Banten. Budaya Betawi pun tersingkirkan oleh budaya lain baik dari Indonesia maupun budaya barat. Untuk melestarikan budaya Betawi, didirikanlah cagar budaya di Situ Babakan.

Bahasa Betawi

Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar "Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat, penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.



Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris.


Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi. Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "Γ©" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah "a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat. Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong. Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas menyebutkan "Γ©", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu tradisional seperti "Kicir-kicir".

Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong Sunda, Cokek dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing. Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Senjata tradisional

Senjata khas Jakarta adalah bendo atau golok yang bersarungkan terbuat dari kayu.


 




Kepercayaan

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Profesi

Di Jakarta, orang Betawi sekarang sebagai hasil asimilasi antar suku bangsa, sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H. Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.

Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal Ji'ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu, meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru, pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang Betawi gusuran Senayan, karena saat itu program Ganefo yang dicetuskan oleh Bung Karno menyebabkan warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk "terpaksa" memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal sekarang ini. Karena salah satu asal-muasal berkembangnya suku Betawi adalah dari asimilasi (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis, dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.

Keberadaan Masyarakat Betawi

Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara lain jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun kadang-kadang dalam beberapa hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orangtua (terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang Betawi sangat menghormati budaya yang mereka warisi. Terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri (baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.

Semoga Informasi Tentang Nama Betawi Menjadi Nilai Tambah Pengetahuan & Wawasan Jakarta.

Sumber: berbagai media